Senin, 14 Maret 2016

"Dan janganlah dipilih hidup ini bagai nyanyian ombak hanya berbunyi ketika terhempas di pantai Tetapi jadilah kamu air-bah , mengubah dunia dengan amalmu..." Kipaskan sayap mu di seluruh ufuk, Sinarilah zaman dengan nur imanmu, Kirimkan cahaya dengan kuat yakinmu, Patrikan segala dengan nama Muhammad". (Mohammad Natsi

Orang banyak mengenalnya sebagai Pak Natsir. Nama lengkapnya Muhammad Natsir, bergelar Datuk Sinaro nan Panjang, lahir di Minangkabau tanggal 17 Juli 1908, tepatnya di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, dari pasangan Sutan Saripado dan Khadijah. Beliau adalah tokoh bangsa, tokoh umat, dan tokoh dunia Islam, karena aktifitas dan peran yang telah dilakukannya untuk Islam dan umat tanpa mengenal lelah.
Pada tahun 1945-1946, pak Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), tahun 1946-1949 menjabat sebagai Menteri Peneranan RI, tahun 1950-1951 menjadi Perdana Menteri RI.
Dalam bidang akademik, Pak Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa bidang Politik Islam dari Universitas Islam Libanon (1967), dalam bidang sastra dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan dalam bidang pemikiran Islam dari Universitas Saint dan Teknologi Malaysia (1991).
Bagi Natsir, menjadi pemimpin berarti melayani rakyat. Tak ada sedikit pun niat Natsir untuk memperkaya diri apalagi korupsi. Natsir bahkan pernah menolak hadiah mobil dari koleganya. Padahal di rumahnya hanya ada sebuah mobil yang sudah butut.
Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri penerangan.
Dalam buku Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan, ­Ge­orge McTurnan Kahin, Indonesianis asal Amerika yang bersimpati pada perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu, bercerita tentang pertemuan pertama yang mengejutkan. Natsir, waktu itu Menteri Penerangan, berbicara apa adanya tentang negeri ini. Tapi yang membuat Kahin betul-betul tak bisa lupa adalah penampilan sang menteri. ”Ia memakai kemeja bertambalan, sesuatu yang belum pernah saya lihat di antara para pegawai pemerintah mana pun,” kata Kahin.
Mungkin karena itulah sampai tahun ini—seratus tahun setelah kelahirannya, 23 tahun setelah ia mangkat—tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontempo­rer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas ­misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam ­moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi­ ini memimpin Dewan Dakwah­ Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.
Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.

Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pe­ngujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalis­me-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.
Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya ”bertemu” lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang­an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.
Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel ”musuh utama” pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru—pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik peng­ikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.
Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemahlembut­annya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber­sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang­an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh. 


Sabtu, 12 Maret 2016

Mohammad Natsir lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, kabupaten Solok, Sumatera Barat tepatnya pada tangga 17 Juli 1908 ia merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado serta Khadijah. Ia mempunyai 3 orang saudara kandung, yang bernama Yukinan, Rubiah, serta Yohanusun. Jabatan ayahnya yaitu pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedang kakeknya adalah seorang ulama.

Ia nantinya akan menjadi pemangku kebiasaan atau adat untuk kaumnya yang berasal Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang. Ia adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Nama Lengkap
Mohammad Natsir
Alias
Natsir
Gelar
Pahlawan Nasional
Agama
Islam
Tempat Lahir
Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat
Tanggal Lahir
Rabu, 17 Juni 1908
Zodiac :
Gemini
Warga Negara
Indonesia

Natsir mulai mengenyam pendidikan selama dua tahun di Sekolah Rakyat Maninjau, kemudian ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Padang. Selama beberapa bulan bersekolah disana ia kemudian pindah ke Solok dan dititipkan dirumah saudagar yang bernama Haji Musa. Tak hanya belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar pengetahuan agama Islam di Madrasah Diniyah saat malam hari. Ia kemudian pindah setelah tiga tahun ke HIS di Padang bersama-sama kakaknya. Kemudian tahun 1923, ia meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu kemudian ia pubn bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij serta Jong Islamieten Bond. Sesudah lulus dari MULO, ia selanjutnya pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) sampai tamat pada tahun 1930. Di tahun 1928 hingga 1932, ia kemudian menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga jadi pengajar setelah menerima pelatihan sebagai guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang sudah memperoleh pendidikan Islam di Sumatera Barat pada mulanya juga memperdalam pengetahuan agamanya di Bandung, termasuk juga dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, serta dialektika. Kemudian di tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang nantinya akan menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam. 

Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.

Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah." (Wikipedia).

Berlawanan secara politik, tidak perlu harus diikuti dengan permusuhan abadi secara pribadi.

Natsir dan IJ Kasimo
Mohammad Natsir dan IJ Kasimo adalah contoh bahwa berlawanan secara politik, tidak perlu harus diikuti dengan permusuhan abadi secara pribadi.

Natsir dikenal sebagai tokoh partai Islam, Masyumi. Dia dikenal berkawan akrab dengan IJ Kasimo, tokoh Partai Katolik. Bergabung dalam partai politik yang berlawanan, Natsir dan IJ Kasimo selalu bergandengan tangan dalam menghadapi PKI.

Saat Presiden Soekarno menawarkan konsep kabinet Kaki Empat, Natsir dan IJ Kasimo menolaknya. Partai Masyumi dan Partai Katolik sama-sama menentang PKI diikutkan ke pemerintahan.

Dalam artikel Chris Siner Key Timu di buku 100 Tahun Mohammad Natsir, dikutip merdeka.com, Senin (21/7), dijelaskan bahwa keakraban Natsir dan IJ Kasimo juga tampak dalam pergaulan sehari-hari.

    Ketika hari Raya Natal, Natsir selalu berkunjung ke rumah IJ Kasimo. Kebetulan tempat tinggal mereka tidak terlalu jauh, Natsir tinggal di Jl Tjokroaminoto dan Kasimo di Jl Gresik, sama-sama Menteng. Sebaliknya pada saat Idul Fitri, Kasimo datang berkunjung ke rumah Natsir.

    Natsir dikenal sebagai sosok yang konsisten dalam memperjuangkan kepentingan dan ideologi. Tetapi, Natsir tidak membenci lawan-lawan politiknya. Sebagai pemimpin Masyumi, Natsir tidak mau memaksakan keyakinannya kepada pihak lain agar mengikuti ajaran Islam.


    Natsir dan Sukarno
    Perbedaan pandangan Natsir dengan Soekarno sudah terjadi sejak sebelum Indonesia merdeka pada 1930. Di awal Proklamasi Natsir dan Soekarno bertemu di badan pemerintahan. Perbedaan pandangan tidak menghalangi hubungan dekat keduanya. Begitu dekatnya sehingga Natsir konon pernah menjadi pembuat pidato Soekarno.

    Pada zaman Bung Karno, Mohammad Natsir mengalami pengucilan politik. Bahkan, tokoh Partai Masyumi ini sempat dipenjarakan. Partai Masyumi yang dipimpinnya pun dibubarkan tahun 1960 oleh Soekarno. Ada perbedaan pandangan yang tajam di antara mereka tentang bagaimana membawa bangsa Indonesia ke depan, terutama terkait dengan ideologi Pancasila dan Islam.

    Mohammad Natsir dikenal aktif dalam Petisi 50 yang menentang Orde Baru. Rekannya di Petisi 50 Chris Siner Key Timu memberi kesaksian betapa dalam setiap rapat Natsir tak pernah menyinggung-nyinggung Bung Karno apalagi menjelek-jelekkan. 

    "Tidak pernah dia mengeluarkan kata-kata yang buruk soal Bung Karno. Dari situ saja sangat terlihat sifat kenegarawanannya itu," tulis Key Timu dalam buku 100 Tahun Mohammad Natsir.
    Setelah tragedi berdarah tahun 1965 pecah, Natsir juga tidak pernah berpikir menggunakan kesempatan yang ada untuk meraih kekuasaan atau demi kepentingan pribadi. 

    Begitulah Natsir. Dia dikenang sebagai politisi yang santun. Perbedaan pendapat dengan lawan politik, tidak melanggengkan sikap saling dendam. Natsir tetap menganggap lawan politiknya sebagai teman.


    Jumat, 11 Maret 2016

    Partai Bulan Bintang (PBB) adalah sebuah partai politik Indonesia yang berasaskan Islam berdiri pada tanggal 17 Juli 1998 di Jakarta dan dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 26 Juli 1998 di halaman Masjid Al-Azhar Kemayoran Baru Jakarta.

    Partai Bulan Bintang didirikan dan didukung oleh ormas-ormas Islam tingkat Nasional yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Koordinasi dan Silaturahmi Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Forum Silaturahmi Ulama, Habaib dan Tokoh Masyarakat (FSUHTM), Persatuan Islam (PERSIS), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Umat Islam (PUI), Perti, Al-Irsyad, Komite untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI), Lembaga Hikmah, Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam (GPI), KB-PII, KB-GPI, Hidayatullah, Asyafiiyah, Badan Koordinasi Pemuda & Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), Badan Koordinasi Muballigh Indonesia (Bakomubin),Wanita Islam, Ikatan Keluarga Masjid Indonesia (IKMI), Ittihadul Mubalighin, Forum Antar Kampus dan Lembaga Penelitian Pengkajian Islam (LPPI). Berbagai ormas ini bergabung didalam Badan Koordinasi Umat Islam (BKUI) yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1998. BKUI merupakan pelanjut dari Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) yang didirikan pada tanggal 1 Agustus 1989 oleh Pemimpin Partai Masyumi yaitu DR.H. Mohammad Natsir, Prof.DR.HM. Rasyidi, KH. Maskur, KH. Rusli Abdul Wahid, KH. Noer Ali, DR. Anwar Harjono, H. Yunan Nasution, KH. Hasan Basri dan lain-lain.

    Pada awal berdirinya PBB diketuai oleh Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH,MSc tokoh reformasi yang menjadi arsitek berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden RI ketika reformasi bergulir dan juga sebagai tokoh yang mempelopori Amandemen Konstitusi Pasca reformasi ditengah tuntutan Federalisme dari berbagai tokoh reformasi ketika itu dan pernah pula menjadi Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia dan Menteri Sekretaris Negara.

    Sedangkan DR. H.MS. Kaban diangkat sebagai Sekretaris Jendral, tokoh HMI yang sangat disegani dan pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan yang juga dikenal tanpa kompromi dengan para cukong kayu dan perambah hutan Indonesia.

    Berikutnya MS Kaban dipilih sebagai Ketua Umum PBB pada tanggal 1 Mei 2005dan Drs.H. Sahar L. Hasan sebagai Sekjen. Sejak Muktamar ke-3, April 2010, di Medan partai ini telah menetapkan kembali DR.H.MS Kaban sebagai Ketua Umum dan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, SH., M.Sc. sebagai Ketua Majelis Syuro dan BM Wibowo,SE., MM., mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Massa Islam Hidayatullah, sebagai Sekretaris Jenderal.

    Partai Bulan Bintang sejak reformasi telah menjadi peserta pemilu dan telah mengikuti Pemilu tahun1999, 2004 dan Pemilu tahun 2009. Pada Pemilu tahun 1999, Partai Bulan Bintang mempu meraih 2.050.000 suara atau sekitar 2% dan meraih 13 kursi DPR RI. Sementara pada Pemilu 2004 memenangkan suara sebesar 2.970.487 pemilih (2,62%) dan mendapatkan 11 kursi di DPR.

    Dalam Pemilihan Umum Anggota Legislatif 2009, PBB memeroleh suara sekitar 1,8 juta yang setara dengan 1,7% dan dengan system parliamentary threshold2,5% sehingga berakibat hilangnya wakil PBB di DPR RI, meski di beberapa daerah pemilihan beberapa calon anggota DPR RI yang diajukan mendapatkan dukungan suara rakyat dan memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai Anggota DPR RI. Namun PBB masih memiliki sekitar 400 Anggota DPRD baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

    Visi

    Terwujudnya kehidupan masyarakat Indonesia yang Islami


    Misi
    Membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang maju, mandiri berkepribadian tinggi, cerdas, berkeadilan, demokratis dan turut menciptakan perdamaian dunia berdasarkan nilai-nilai Islam.
    Baca :  Anggaran Dasar dan anggaran rumah tangga

    Sejarah
    Partai Bulan Bintang berasal dari partai Masyumi yang telah dilarang oleh Presiden Sukarno pada tahun 1960. Setelah larangan tersebut para pendukung dan anggota partai mendirikan Keluarga Bulan Binangsebagai wadah untuk terus memperjuangkan penerapan syari’ah Islam melalui kegiatan da’wah. Setelah jatuhnya Sukarno dan transisi ke Orde Baru, anggota organisasi ini ingin menghidupkan klembali Partai Masyumi, tapi tidak diizinkan oleh rezim Orde Baru. Pada tahun 1970-an dalam peremuan di Malang, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi ) dibentuk dan ikut dalam pemilu tahun 1971. Pada tahun 1973 Parmusi dipaksa bergabung dengan partai-partai Islam lainnya kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dengan Jatuhnya Soeharo pada 1998, para pendukung Masyumi memutuskan untuk mendirikan partai baru, rencana awal partai ini akan menggunakan nama Masyumi tapi setelah mempertingkan dari aspek hukum maka kemudian diputuskan menggunakan nama PARTAI BULAN BINTANG. Ketau umum pertama partai ini adalah Yusril Ihza Mahendra, seorang ahli hukum tata negara dan mantan penulis pidato Presiden Suharto.



    Masa Penjajahan Jepang
    Tanggal 21 september 1937 atas kesadaran pemimpin-pemimpin Organisasi Islam, mereka menyatukan diri dalam suatu federasi yang disebut Majelis Islam A’la Indonesia yang disingkat dengan MIAI, sebagaimana dikatakan Ahmad Syafii Maarif (1995:17) dalam bukunya Islam dan Kenegaraan sebagai berikut “Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) lahir atas inisiatif.

    K.H. Mas Mansur dari Muhamadiyah, K.H.M. Dahlan dan K.H. Wahab Hasbullah dari, Nahdatul Ulama, Wondoamisseno dari Serikat Islam dan tokoh organisasi Islam lainnya seperti Persatuan Ulama dan Al-irsyad”, berdasarkan kutipan tersebut dapat dipahami bahwa pendirian MIAI adalah inisiatif dari para pemimpin organisasi-organisasi Islam untuk menyatukan diri dalam satu organisasi Islam tanpa ada campur tangan dari pihak penjajah.




    Sejarah Berdirinya Masyumi
    Kampanye Masyumi Pada Pemilu 1955
    Pada bulan Oktober 1943 pihak Jepang membentuk organisasi baru untuk mengendalikan Islam. Sebagaimana dikatakan M.C. Ricklefs (1995:304), dalam bukunya, Sejarah Indonesia Modern mengatakan “MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia)”. Sejalan dengan itu dalam bukunya Bulan Sabit dan Matahari J, Benda (1980:185) juga mengatakan “diciptakannya organisasi baru tersebut (Masyumi) yang diberi status hukum langsung pada hari didirikannya, tak ayal lagi merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam”.

    Baca :

    Masyumi sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A’laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.

    Masyumi pada masa Jepang ini berbeda dengan pendirian MIAI. Pembentukan MIAI bebas dari campur tangan penjajah, sedangkan pembentukan Masyumi dalam pergerakan tetap diawasi oleh Jepang sampai akhir pendudukannya di Indonesia.Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.[1] Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.
    M. Natsir
    Masyumi Sebagai Partai Politik

    SETELAH serangkaian diskusi mengenai masa depan politik Islam, timbul gagasan untuk mendirikan organisasi politik. Pada Oktober 1945, sebuah komite dikepalai Natsir dibentuk untuk merealisasikan rencana tersebut. Tak lama, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan Maklumat No X tentang anjuran membentuk partai-partai politik.

    Natsir bergerak cepat. Pada 7-8 November 1945, di Gedung Madrasah Mu’alimin Muhammadiyah Yogyakarta, dihelatlah Kongres Umat Islam yang dihadiri para pemimpin muslim dan perwakilan organisasi muslim. Kongres memutuskan pembentukan satu-satunya partai politik yang menyalurkan aspirasi politik umat Islam.

    Peserta kongres memilih nama Masyumi, tapi bukan merujuk pada Majelis Syuro Muslimin Indonesia di masa Jepang, ketimbang nama lain yang diusulkan, Partai Rakyat Islam. Sukiman Wirjosandjojo, ketua kongres, terpilih sebagai ketua umum.

    Sebagaimana disebutkan dalam Anggaran Dasar, Masyumi memiliki tujuan: terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi.

    Beberapa organisasi yang di masa Jepang berafiliasi dengan Masyumi menjadi anggotanya. Organisasi Islam lainnya kemudian ikut bergabung. Selain organisasi, Masyumi menerima anggota perorangan. Dualisme keanggotaan ini didasarkan pertimbangan untuk memperbanyak anggota dan “agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa ada yang merasa tidak diwakili,” tulis Deliar Noer dalam Partai Islam di Pentas Nasional.

    Dengan sistem keanggotaan semacam itu, banyak yang memprediksikan bahwa Masyumi akan memenangi pemilihan umum. Namun, sistem ini juga punya kelemahan. Sistem ini, menurut George McT Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, menjadikan Masyumi “partai politik terbesar di Indonesia tapi kurang terorganisasi” atau dalam istilah Sjafruddin Prawiranegara, ketua terkemukanya “seekor gajah yang mengidap beri-beri”.

    Pemilu 1955

    Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu. Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah,Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.


    Baca : Sejarah Berdirinya Partai Bulan Bintang
    Way2Themes