Jakarta | Wacana pemutaran film G-30S/PKI kembali menyeruak menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober mendatang. Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan wacana pemutaran film tersebut akan mempertaruhkan citra Presiden Joko Widodo.
“Presiden dan pemerintah harus piawai dan terampil dalam mengelola isu-isu tentang PKI. Kalau tidak bisa dimanajemen dengan baik, maka bisa dijadikan komoditas politik oleh lawan dan berpotensi menggerus dan membahayakan citra jokowi,” kata Pangi dalam siaran persnya, Rabu (20/9).
Rencana penayangan Film Pengkhianatan G-30S/PKI, lanjutnya, bakal memposisikan sikap Presiden Jokowi yang sesunguhnya. Ini bisa saja test on the water terhadap pemerintahan sekarang, ke arah mana posisi dan sikap pemerintah.
Jika Jokowi mendukung atau membiarkan penayangan film tersebut, tentu akan disambut baik oleh para kalangan yang selama ini membenci komunis atau PKI. Akan tetapi, Jokowi bakal mendapat citra buruk dari sebagian masyarakat yang menilai bahwa film tersebut sarat dengan kebohongan dan alat propaganda politik Orde Baru.
Pasalnya film G-30S/ PKI setelah reformasi atau jatuhnya rezim Soeharto tidak pernah lagi ditayangkan di televisi nasional. Padahal di era Soeharto, film ini wajib ditonton bagi masyarakat untuk memperlihatkan dan mengingatkan kekejaman dan bahaya laten komunis.
Namun jika Jokowi berani melarang pemutarannya, tentu ada kalangan yang mempertanyakan komitmen untuk ‘menggebuk PKI’ yang pernah dinyatakan Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi sebaiknya tidak menanggapi rencana penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI secara berlebihan dan reaksioner.
Ingat pesan Soekarno, jas merah (sejarah), belakangan banyak generasi muda yang putus, alias tidak paham sejarah PKI di Indonesia, pemutaran film tersebut berdampak positif dalam rangka mengingatkan kembali sejarah keganasan PKI di Indonesia.
“Jangan sampai presiden atau pemerintah menghalangi pemutaran film PKI. Pemutaran film ini sejalan dengan pernyataan Jokowi untuk ‘gebuk PKI’. Kalau tiba-tiba dilarang, bisa kontraproduktif dengan pernyataan presiden sebelumnya. Ini bisa blunder dan bunuh diri politik bagi citra presiden apabila melarangnya,” tegas tokoh lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Baca sumber
“Presiden dan pemerintah harus piawai dan terampil dalam mengelola isu-isu tentang PKI. Kalau tidak bisa dimanajemen dengan baik, maka bisa dijadikan komoditas politik oleh lawan dan berpotensi menggerus dan membahayakan citra jokowi,” kata Pangi dalam siaran persnya, Rabu (20/9).
Rencana penayangan Film Pengkhianatan G-30S/PKI, lanjutnya, bakal memposisikan sikap Presiden Jokowi yang sesunguhnya. Ini bisa saja test on the water terhadap pemerintahan sekarang, ke arah mana posisi dan sikap pemerintah.
Jika Jokowi mendukung atau membiarkan penayangan film tersebut, tentu akan disambut baik oleh para kalangan yang selama ini membenci komunis atau PKI. Akan tetapi, Jokowi bakal mendapat citra buruk dari sebagian masyarakat yang menilai bahwa film tersebut sarat dengan kebohongan dan alat propaganda politik Orde Baru.
Pasalnya film G-30S/ PKI setelah reformasi atau jatuhnya rezim Soeharto tidak pernah lagi ditayangkan di televisi nasional. Padahal di era Soeharto, film ini wajib ditonton bagi masyarakat untuk memperlihatkan dan mengingatkan kekejaman dan bahaya laten komunis.
Namun jika Jokowi berani melarang pemutarannya, tentu ada kalangan yang mempertanyakan komitmen untuk ‘menggebuk PKI’ yang pernah dinyatakan Jokowi. Oleh karena itu, Jokowi sebaiknya tidak menanggapi rencana penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI secara berlebihan dan reaksioner.
Ingat pesan Soekarno, jas merah (sejarah), belakangan banyak generasi muda yang putus, alias tidak paham sejarah PKI di Indonesia, pemutaran film tersebut berdampak positif dalam rangka mengingatkan kembali sejarah keganasan PKI di Indonesia.
“Jangan sampai presiden atau pemerintah menghalangi pemutaran film PKI. Pemutaran film ini sejalan dengan pernyataan Jokowi untuk ‘gebuk PKI’. Kalau tiba-tiba dilarang, bisa kontraproduktif dengan pernyataan presiden sebelumnya. Ini bisa blunder dan bunuh diri politik bagi citra presiden apabila melarangnya,” tegas tokoh lulusan S2 Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) ini.
Baca sumber