Ketika malam hari raya, sudah menjadi tradisi pada sebagian masyarakat kita untuk berkumpul di masjid guna melakukan ibadah. Bahkan pada banyak daerah, kaum muslimin melakukan pawai atau kirab dengan mengumandangkan takbir. Orang Jawa bilang : ”Takbiran”. Yang kelas perkotaan, pawainya dengan mobil plus sound system lengkap bak kirab tujuhbelasan. Yang kelas kampung, cukup jalan kaki dengan membawa obor bambu. Walaupun bermacam-macam bentuk dan model, kebanyakan mereka mempunyai kesamaan motif dalam hal alasan melakukan perbuatan tersebut, yaitu : ibadah di malam hari raya (baik ’Iedul-Fithri maupun ’Iedul-Adlhaa) mempunyai keutamaan besar menurut syari’at. Namun, kita juga tidak menutup mata atas realitas bahwa banyak pula di antara mereka yang sekedar ikut-ikutan untuk hura-hura daripada di rumah tidak ada kerjaan. Lumayan bisa kumpul sama teman-teman dan ”kota-kota” [1].
Sebagian asatidzah dan da’i yang menjadi motor kegiatan tersebut seringkali menyebut beberapa hadits yang mereka gunakan sebagai pijakan. Tentu saja, mereka lakukan itu untuk memenuhi aspek legalitas. Melalui tulisan ini, saya akan mengajak pembaca sekalian untuk mencermati validitas hadits-hadits yang mereka gunakan sehingga kita mengetahui seberapa legal aktifitas tersebut dari kaca mata syari’at. Jika legal, tentu saja itu termasuk sunnah yang sudah semestinya diamalkan lagi dilestarikan. Namun jika ilegal, maka dengan ”sangat menyesal” kita katakan bahwa hal itu adalah bid’ah yang wajib untuk kita tinggalkan.
Beberapa hadits tersebut antara lain adalah :
Pertama :
مَنْ أَحْيَا لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَ لَيْلَةَ الْأَضْحَى , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
”Barangsiapa yang menghidupkan malam ’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa, niscaya hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.
Al-Haitsami berkata pada Al-Majma’ (2/198) : ”Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir dan Al-Ausath dari ’Ubadah bin Ash-Shaamit. Dan di dalamnya ada perawi yang bernama ’Umar bin Harun Al-Balkhiy. Yang lebih banyak ada padanya adalah kelemahan. Ibnu Mahdi dan yang lainnya memujinya, namun golongan yang banyak telah melemahkannya”.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Ibnu Mahdi mempunyai perkataan yang lain mengenai ’Umar bin Harun yang bertentangan dengan di atas dimana ia berkata : ’Ia tidak ada nilainya di sisiku” ! Ibnu Ma’in dan Shaalih Jazarah berkomentar tentang ’Umar bin Harun : ”Pendusta”. Hal yang sama dikatakan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (2/142). Ibnul-Jauzi menyebutkan baginya sebuah hadits yang ia menuduhnya memalsukannya.
Ibnu Hajar berkata dalam At-Taqrib (hal. 728 no. 5014) : ”Matruk”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam jajaran perawi lemah dalam kitab Al-Majruuhiin (2/63 no. 650).
Adz-Dzahabi mengumpulkan banyak jarh (celaan) atas dirinya dari para ulama dalam kitabnya Mizaanul-I’tidaal (3/228-229 no. 6237), diantaranya adalah : ”….. Telah berkata Ibnu Mahdi, Ahmad, dan An-Nasa’i : ’Matruk’. Yahya (bin Ma’in) berkata : ’Pendusta yang jelek’. Abu Dawud berkata : ’Tidak tsiqah’. ’Ali dan Ad-Daruquthni berkata : ’Dla’if jiddan (sangat lemah)’. Ibnul-Madini berkata : ’Dla’if jiddan’. Shalih Jazarah berkata : ’Pendusta’. Zakariyya As-Saajiy berkata : ’Padanya terdapat kelemahan’. Abu ’Ali An-Naisabury berkata : ’Matruk’…..”.
Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).
Kedua :
مَنْ قَامَ لَيْلَتَي الْعِيْدَيْنَ مُحَتَسِّباً للهِ , لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
”Barangsiapa yang beribadah pada dua malam hari raya (yaitu ’Iedul-Fithri dan ’Iedul-Adlhaa), niscaya hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati-hati”.
Dikeluarkan oleh Ibnu Majah (1/542) dari Baqiyyah bin Al-Waliid, dari Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Mi’daan, dari Abu Umaamah secara marfu’. Berkata pengarang Az-Zawaaid : ”Sanadnya dla’if karena tadlis yang dilakukan Baqiyyah”. Al-’Iraqy berkata dalam Takhriij Al-Ihyaa’ (1/328) : ”Sanadnya dla’if”.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Tadlis yang dilakukan Baqiyyah ini adalah tadlis yang buruk, karena ia meriwayatkan dari para pendusta, dari orang-orang tsiqaat. Kemudian ia menggugurkan (tidak menyebutkan) para pendusta itu antara dia dan orang-orang tsiqaat tersebut, serta melakukan tadlis dari mereka. Maka sangat boleh jadi gurunya yang tidak disebutkan pada sanad hadits ini termasuk pada jajaran pendusta tadi”.
Ibnul-Qayyim berkata mengenai petunjuk pada malam nahar (yaitu malam ’Iedul-Adlhaa) dalam kitab Al-Manaasik (1/212) : ”Kemudian beliau shallallaahu ’alaihi wasallam tidur hingga waktu shubuh. Beliau tidak menghidupkan malam tersebut. Tidak ada yang shahih satupun hadits yang berasal dari beliau shallallaahu ’alaihi wasallam yang berbicara tentang menghidupkan dua malam ’Iedain”.
Kesimpulannya, hadits ini dla’if jiddan (sangat lemah).
Ketiga :
مَنْ أَحْيَا اللَّيَالِيَ الْأَرْبَعَ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ , لَيْلَةَ التَّرْوِيَّةِ وَلَيْلَةَ عَرَفَةَ وَلَيْلَةَ النَّحْرِ وَلَيْلَةَ الْفِطْرِ
”Barangsiapa yang menghidupkan empat jenis malam, maka wajib baginya surga : Malam tarwiyyah (tanggal 8 Dzulhijjah), malam ’Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), malam Nahar (tanggal 10 Dzulhijjah), dam malam ’Iedul-Fithri (tanggal 1 Syawal)”.
Diriwayatkan oleh Nashr Al-Maqdisi dalam satu juz dari kitab Al-Amaaliy (186/2) dari Suwaid bin Sa’iid, telah menceritakan kepadaku ’Abdurrahiim bin Zaid Al-’Ammiy, dari bapaknya, dari Wahb bin Munabbih, dari Mu’adz bin Jabal secara marfu’. Sanad hadits ini adalah maudlu’ (palsu) sebagaimana akan datang penjelasannya. As-Suyuthi membawakannya dalam Al-Jamii’ush-Shaghiir dari riwayat Ibnu ’Asakiir dari Mu’adz.
Akan tetapi pensyarah kitab tersebut, yaitu Al-Munawi, telah memberikan kritikan dengan perkataannya : ”Ibnu Hajar berkata dalam Takhriij Al-Adzkaar : ’Hadits ghariib’. ’Abdurrahiim bin Zaid Al-’Ammiy yang merupakan salah satu dari para perawi hadits tersebut adalah matruk. Ibnul-Jauzi telah mendahului Ibnu Hajar dengan perkataannya : ’Hadits itu tidak shahih. Dan tentang ’Abdurrahiim ini, Yahya (bin Ma’in) berkata : Pendusta. Adapun An-Nasa’i berkata : Matruk”.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata : ”Dan Suwaid bin Sa’id adalah termasuk perawi yang lemah juga. Jadi sanad hadits tersebut adalah gelap, sebagian di atas sebagian yang lain. Hadits tersebut dibawakan oleh Al-Mundziri dalam At-Targhiib (2/100) dengan lafadh : ”…lima jenis malam”, dimana ia menambahkan di akhir hadits (selain dari empat jenis malam yang telah disebutkan sebagaimana di atas) : ”dan malam Nishfu Sya’ban”. Kemudian setelah itu Al-Mundziri berkata : ”Diriwayatkan oleh Al-Ashbahani”. Ia mengisyaratkan tentang kelemahan atau kepalsuan hadits tersebut.
Kesimpulannya, hadits ini adalah maudlu’ (palsu).
Dari ketiga hadits yang ada di atas dapat diketahui bahwa hadits-hadits itu tidak ada yang sah dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam. Maka, menyandarkan perbuatan menghidupkan malam ’Iedul-Fithri dan malam ’Iedul-Adlhaa pada sabda atau perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam adalah tidak dibenarkan.
Pada asalnya beribadah di waktu malam itu disyari’atkan, terutama pada sepertiga malam terakhir. Namun mengkhususkan diri untuk beribadah pada malam ’Iedain plus diiringi i’tiqad bahwasannya hal itu merupakan perintah yang dituntut dalam syari’at, maka masuk dalam katagori bid’ah. Jika dikembalikan pada awal perbincangan, maka amalan ini termasuk amalan illegal dalam Islam. Bahkan pada tataran realitas di lapangan, amalan ini malah banyak suplemen maksiatnya. Takbiran malam hari raya dijadikan ajang gaul dan mejeng bagi para muda-mudi. Ajang nongkrong bagi pemuda-pemuda pengangguran dengan ”genjrengan” gitar plus ketipung yang mengiringi alunan takbir. Penghambur-hamburan uang dengan diadakannya festival bedug (jadilah acara ini bid’ah di atas bid’ah). Mirisnya, festival bedug ini malah banyak disponsori oleh pabrik rokok. Dan yang lainnya. Akhirmya,….. setelah lelah bergadang semalaman dengan dalih takbiran, badan loyo mata ngantuk….. kumandang adzan shubuh di masjid malah tidak mereka sambut. Shalat shubuh pun kesiangan. Efek lanjutannya, shalat ’Ied pun bisa jadi mereka lakukan dengan penuh kelesuan. Ini di satu sisi. Adapun sisi lain, cara takbiran yang mereka lakukan pun tidak sesuai dengan tata waktu yang dicontohkan Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam.[2]
Walhasil, ajakan di akhir tulisan ini hanyalah : Mari kita lakukan ap-apa yang dicontohkan, dan meninggalkan apa-apa yang tidak dicontohkan (apalagi yang jelas-jelas dilarang). Sederhana bukan ? Orang Jawa bilang : Gedhang woh pakel, ngomong gampang nglakoni angel. Ya,…. semoga kita tidak termasuk objek sindiran pepatah Jawa ini. Wallaahu a’lam.
Keterangan :
[takhrij hadits di atas terutama sekali bersandar pada kitab Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Ma’dluu’ah karya Asy-Syaikh Al-Albani 2/11-12 no. 520-522, Maktabah Al-Ma’arif, Cet. 5, 1412 – dengan sedikit tambahan dari Taqribut-Tahdzib karya Al-Hafidh Ibnu Hajar, tahqiq Abu Asybal Al-Bakistaniy, Daarul-’Ashimah, tanpa tahun; Al-Majruhiin minal-Muhadditsiin karya Al-Hafidh Ibnu Hibban, tahqiq Majdi ’Abdul-Majid As-Salafy, Daarush-Shumai’i, Cet. 1, 1420; dan Mizaanul-I’tidaal karya Al-Hafidh Adz-Dzahabi, tahqiq ’Ali Muhammad Al-Bajawi, Daarul-Ma’rifah, tanpa tahun]
Catatan kaki :
[1] Maksudnya : putar-putar kota.
[2] Sunnah telah memberikan penjelasan bahwasannya takbir hari raya ‘Iedul-Fithri dilakukan pada saat seseorang keluar dari rumahnya menuju tanah lapang untuk menunaikan shalat ‘Ied dan berakhir saat imam menegakkan shalat. Dasarnya adalah :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة قطع التكبير
“Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumah beliau) pada hari ‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat beliau menghentikan takbir” [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan Al-Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 171].
Adapun takbir hari raya ‘Iedul-Adlhaa dilakukan semenjak fajar hari ‘Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) hingga berakhirnya hari Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) berdasarkan pengamalan dari beberapa orang shahabat seperti ‘Ali dan Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhuma [sebagaimana yang disitir oleh Ash-Shan’any dalam Subuulus-Salaam 2/101, Daarul-Hadits, Cet. 1, 1425 H].