Jakarta - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang ambang capres yang tetap 20 persen dinilai bermuatan politis. Putusan itu disebut tak memiliki argumentasi hukum yang jelas.
"Saya sih mengatakan menduga jangan-jangan MK ini bukan putusan hukum tapi putusan politik, dan ini menurut saya yang harusnya menjadi pesan besar buat MK yaitu tatkala men-switch tombol hukum menjadi politik. Karena yang kita harapkan MK itu menyelesaikan persengketaan politik dalam ranah hukum. Itu kan ide dasar kita buat MK," kata pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (11/1/2018).
Zainal melihat tak ada cara pandang hukum yang membenarkan putusan MK tersebut. Menurutnya, sejumlah negara presidensial di dunia pun sedikit yang menggunakan ambang batas capres.
"Dasarnya karena saya tidak melihat relasi cara pandang hukum yang membenarkannya. Dari empat yang saya sampaikan. Satu soal presidential threshold (PT), negara presidentil yang menggunakan PT tidak banyak," terangnya.
Ambang batas capres juga dinilai tidak relevan dengan kondisi politik di parlemen yang relatif cair. Dia mencontohkan pada awalnya sejumlah partai yang berada di barisan oposisi Presiden Joko Widodo kini berbalik arah.
"Yang kedua, tujuan dari PT nggak tercapai dengan melihat cairnya politik kita," tuturnya.
Selain itu, konstitusi Indonesia telah menyebutkan secara jelas bahwa setiap parpol atau gabungan parpol berhak mengajukan capres. Terakhir, Zainal juga beranggapan hasil di pemilu sebelumnya tak bisa digunakan di pemilu yang akan datang karena kondisi yang sangat berbeda.
"Yang soal peraturan perundang-undangan, yang pasal 6 UUD hanya memgatakan parpol dan gabungan parpol peserta pemilu. Jadi siapapun yang ikut pemilu harusnya bisa," tuturnya.
Meski begitu, dia menghormati putusan MK soal ambang batas capres tersebut. Dia berharap masyarakat tetap mengawal pemilu yang akan datang dan berharap parlemen untuk merubah UU Pemilu.
"Saya berharap perubahannya melalui perubahan UU. Kalaupun tidak berubah, masyarakat harus berpikir untuk menyelamatkan pemilu berikutnya," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politica, Yunarto Wijaya, menilai putusan MK itu akan berimplikasi pada pilihan capres di Pilpres 2014. Dalam pesta demokrasi lima tahunan itu, Yunarto memprediksi bakal ada dua calon presiden.
"Otomatis menurut saya tidak akan jauh kita akan melihat dua saja calon presiden. Satu Jokowi, satu adalah koalisi yang dibangun oleh oposisi, entah Prabowo, entah orang yang dimajukan Prabowo seperti Anies. Tapi sepertinya tidak akan mengubah konstelasi banyak. Tapi sepertinya tidak akan mengubah konstelasi banyak. Yang jelas sulit untuk berharap adanya calon alternatif," tuturnya.