Jumat, 26 Januari 2018

Partai Masyumi dalam Kilasan Sejarah

Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Council of Indonesian Muslim Associations) atau disingkat menjadi Masyumi, adalah sebuah partai politik Islam terbesar di Indonesia selama Era Demokrasi Liberal di Indonesia. Partai ini dilarang pada tahun 1960 oleh Presiden Sukarno karena diduga mendukung pemberontakan PRRI. Masyumi adalah nama yang diberikan kepada sebuah organisasi yang dibentuk oleh Jepang yang menduduki Indonesia pada tahun 1943 dalam upaya mereka untuk mengendalikan umat Islam di Indonesia. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,pada tanggal 7 November 1945 sebuah organisasi baru bernama Masyumi terbentuk. Dalam waktu kurang dari setahun, partai ini menjadi partai politik terbesar di Indonesia.Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, sama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Selama periode demokrasi liberal, para anggota Masyumi duduk di Dewan Perwakilan Rakyat dan beberapa anggota dari partai ini terpilih sebagai Perdana Menteri Indonesia, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.

Presiden Soekarno dalam Konvensi Masyumi Tahun 1954
Masyumi menduduki posisi kedua dalam pemilihan umum 1955. Mereka memenangkan 7.903.886 suara, mewakili 20,9% suara rakyat, dan meraih 57 kursi di parlemen. Masyumi termasuk populer di daerah modernis Islam seperti Sumatera Barat, Jakarta, dan Aceh. 51,3% suara Masyumi berasal dari Jawa, tetapi Masyumi merupakan partai dominan untuk daerah-daerah di luar Jawa, dan merupakan partai terdepan bagi sepertiga orang yang tinggal di luar Jawa. Di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, Masyumi memperoleh jumlah suara yang signifikan. Di Sumatera, 42,8% memilih Masyumi, kemudian jumlah suara untuk Kalimantan mencapai 32%, sedangkan untuk Sulawesi mencapai angka 33,9%.

Pada tahun 1958, beberapa anggota Masyumi bergabung dengan pemberontakan PRRI terhadap Soekarno. Sebagai hasilnya, pada tahun 1960 Masyumi “bersama dengan Partai Sosialis Indonesia” dilarang. Setelah pelarangan tersebut, para anggota dan pengikut Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang (Crescent Star Family) untuk mengkampanyekan hukum syariah dan ajarannya. Sebuah upaya untuk membangkitkan kembali partai ini selama masa transisi ke Orde Baru sempat dilakukan, namun tidak diizinkan. Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, upaya lain untuk membangkitkan partai ini kembali dilakukan, namun para pengikut Masyumi mendirikan Partai Bulan Bintang, yang berpartisipasi dalam pemilihan legislatif tahun 1999, 2004, dan 2009.

Masyumi pada awalnya didirikan 24 Oktober 1943 sebagai pengganti MIAI (Madjlisul Islamil A’laa Indonesia) karena Jepang memerlukan suatu badan untuk menggalang dukungan masyarakat Indonesia melalui lembaga agama Islam. Meskipun demikian, Jepang tidak terlalu tertarik dengan partai-partai Islam yang telah ada pada zaman Belanda yang kebanyakan berlokasi di perkotaan dan berpola pikir modern, sehingga pada minggu-minggu pertama, Jepang telah melarang Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Indonesia (PII). Selain itu Jepang juga berusaha memisahkan golongan cendekiawan Islam di perkotaan dengan para kyai di pedesaan. Para kyai di pedesaan memainkan peranan lebih penting bagi Jepang karena dapat menggerakkan masyarakat untuk mendukung Perang Pasifik, sebagai buruh maupun tentara. Setelah gagal mendapatkan dukungan dari kalangan nasionalis di dalam Putera (Pusat Tenaga Rakyat), akhirnya Jepang mendirikan Masyumi.

Masyumi pada zaman pendudukan Jepang belum menjadi partai namun merupakan federasi dari empat organisasi Islam yang diizinkan pada masa itu, yaitu Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Setelah menjadi partai, Masyumi mendirikan surat kabar harian Abadi pada tahun 1947.

Nahdlatul Ulama (NU) adalah salah satu organisasi massa Islam yang sangat berperan dalam pembentukan Masyumi. Tokoh NU, KH Hasyim Asy’arie, terpilih sebagai pimpinan tertinggi Masyumi pada saat itu. Tokoh-tokoh NU lainnya banyak yang duduk dalam kepengurusan Masyumi dan karenanya keterlibatan NU dalam masalah politik menjadi sulit dihindari. Nahdlatul Ulama kemudian ke luar dari Masyumi melalui surat keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 5 April 1952 akibat adanya pergesekan politik di antara kaum intelektual Masyumi yang ingin melokalisasi para kiai NU pada persoalan agama saja. Hubungan antara Muhammadiyah dengan Masyumi pun mengalami pasang-surut secara politis dan sempat merenggang pada Pemilu 1955. Muhammadiyah pun melepaskan keanggotaan istimewanya pada Masyumi menjelang pembubaran Masyumi pada tahun 1960.

Di bawah Kabinet Natsir
Presiden Soekarno memberikan tanggung jawab pembentukan kabinet pemerintahan pertama Indonesia pasca kemerdekaan kepada Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir. Dengan 49 kursi parlemen, Masyumi merupakan partai terbesar yang menduduki kursi DPR. Sebagian besar pengamat berasumsi, bahwa kurangnya persentase mayoritas Masyumi di parlemen menghilangkan hak mereka untuk memerintah secara sepenuhnya, oleh karena itu mereka membutuhkan pragmatisme politik untuk berusaha membangun pemerintahan koalisi. Partai Nasional Indonesia (PNI) yang merupakan partai terbesar kedua di parlemen, sempat dipertimbangkan sebagai mitra koalisi Masyumi dalam kabinet.
Sebagai formatur, pada awalnya Natsir mencoba membentuk kabinet dengan menggabungkan Masyumi bersama PNI, namun serangkaian perselisihan mengenai pembagian posisi kunci di kementerian menyebabkan upaya-upaya ini gagal. Natsir kemudian mengubah strateginya, dan dengan berani mengganti rencananya untuk mengatur kabinet dengan menemptkan para anggota Masyumi sebagai inti, ditambah dengan perwakilan non-partai dan anggota dari banyak partai kecil di parlemen, sedangkan PNI diabaikan dalam rencananya.

Hasilnya, ia mampu membentuk kabinet dimana kader-kader Masyumi memegang jabatan Perdana Menteri, kemudian posisi kunci seperti Menteri Luar Negeri, Keuangan, dan Agama. Kelima jabatan tersebut diberikan kepada individu-individu yang tidak memiliki hubungan dengan partai tertentu, dan sembilan kursi lainnya dialokasikan ke beberapa partai kecil, masing-masing terdiri dari Partai Sosialis Indonesia (16 kursi), Partai Indonesia Raya (9 kursi), Parkindo (4 kursi), Persatuan Indonesia Raya (18 kursi), Fraksi Katolik (8 kursi), Fraksi Demokrasi (14 kursi), dan Partai Sarekat Islam Indonesia (5 kursi). Pembagian dua jabatan menteri yang relatif sederhana ke PSI memungkiri fakta bahwa kelima menteri tanpa afiliasi partai dianggap telah berbagi agenda politiknya.

Komposisi Kabinet Natsir disambut dengan penolakan secara langsung dari dalam parlemen, dan juga dari dalam Masyumi sendiri. Sebagai partai terbesar kedua di parlemen, para pimpinan PNI dengan keras menolak kenyataan bahwa mereka dikeluarkan secara sepihak dari kabinet baru ini. Di sisi lain, tokoh-tokoh senior Masyumi juga berbeda pendapat dengan keputusan Natsir yang memilih untuk mengecualikan anggota PNI dari parlemen. Secara khusus, faksi sayap modern Masyumi pimpinan Sukiman Wirjosandjojo memperingatkan Natsir terhadap ancaman polarisasi hubungan antara Masyumi dengan PNI yang tentu akan menghasilkan hubungan yang lebih dekat dengan berbagai partai oposisi lainnya, terutama yang menyukai ideologi Komunis. Sukiman dan sekutu politiknya di Masyumi memang termasuk tokoh yang paling gencar dalam menentang upaya Natsir untuk menyingkirkan PNI dari kabinet.

Meskipun pada bulan Oktober 1950 ada sebuah upaya yang dilakukan oleh sekutu politik PNI untuk memperkenalkan gerakan parlemen yang akan menyebabkan pengangkatan daftar pejabat resmi, pemerintah di bawah Natsir dapat mengumpulkan cukup banyak dukungan untuk memenangkan mosi percaya dengan selisih yang cukup besar (118 melawan 73). Namun, pengunduran diri yang dilakukan Harsono Tjokroaminoto, perwakilan tunggal dari PSII di kabinet ini, melemahkan dukungan PSII terhadap Masyumi di parlemen, dan secara lebih jauh memperlemah koalisi ini. Peristiwa ini dan upaya-upaya lain untuk menggagalkan pemerintahan Natsir bahkan sebelum memulai pekerjaannya tampaknya memberi dampak progresif antara parlemen dan kabinet berikutnya.

Masyumi di Pemilu 1955
Hasil penghitungan suara pada Pemilu 1955 menunjukkan bahwa Masyumi mendapatkan suara yang signifikan dalam percaturan politik pada masa itu.[20] Masyumi menjadi partai Islam terkuat, dengan menguasai 20,9 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Tengah, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara Selatan, dan Maluku. Namun, di Jawa Tengah, Masyumi hanya mampu meraup sepertiga dari suara yang diperoleh PNI dan di Jawa Timur setengahnya. Kondisi ini menyebabkan hegemoni penguasaan Masyumi secara nasional tak terjadi.

Berikut Hasil Pemilu 1955:
Partai Nasional Indonesia (PNI) – 8,4 juta suara (22,3%)
Masyumi – 7,9 juta suara (20,9%) Nahdlatul Ulama – 6,9 juta suara (18,4%)
Partai Komunis Indonesia (PKI) – 6,1 juta suara (16%)

Melalui Pemilu 1955 ini Masyumi mendapatkan 57 kursi di Parlemen.

Organisasi dan Ideologi Masyumi 
Struktur organisasi Masyumi terdiri dari Dewan Pimpinan Partai dan Majelis Syuro. Dewan Pimpinan Partai bertindak sebagai lembaga eksekutif yang membuat pernyataan politik dan memutuskan kebijakan partai. Majelis Syuro merupakan lembaga penasehat yang berperan untuk memberi nasehat dan fatwa kepada Dewan Pimpinan Partai perihal langkah apa yang akan diambil oleh partai secara garis besar. Susunan kepengurusan pimpinan partai didominasi oleh para politisi yang berlatar belakang pendidikan Barat. Di sisi lain, Majelis Syuro didominasi oleh para ulama, terutama para pemimpin organisasi Islam, seperti K.H. Hasyim Asyari dan K.H. Wahid Hasyim dari Nahdlatul Ulama, dan Ki Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah. Masuknya unsur-unsur organisasi dalam Masyumi sebagai anggota istimewa berperan besar dalam peningkatan anggotanya, terutama dari kalangan umat Islam.

Pada awal pembentukannya, Partai Masyumi tidak memberikan keterangan yang tegas, jelas dan terperinci tentang ideologinya, meskipun Masyumi berideologikan Islam. Identitas keislaman dalam Masyumi sangat menonjol, baik dalam mengambil keputusan dan pola pikirnya yang bersumber dari ajaran Islam. Identitas ini tercermin dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Masyumi serta resolusi-resolusi yang dikeluarkan Masyumi. Salah satu resolusi yang dikeluarkan Masyumi pada masa perang kemerdekaan, menyerukan kepada seluruh umat Islam Indonesia untuk melakukan jihad fi sabilillah dalam menghadapi segala bentuk penjajahan. Anggaran Dasar Masyumi menyebutkan bahwa tujuan partai adalah untuk menegakkan kedaulatan negara dan agama Islam. Ideologi Masyumi sebagai partai politik baru diungkapkan dalam manifesto politik Masyumi yang dikeluarkan pada tanggal 6 Juli 1947.[22] Lambatnya penjelasan tentang ideologi Masyumi bukan karena masalah di dalam internal partai, melainkan karena pada saat yang sama, Masyumi sedang disibukkan dengan keterlibatan mereka dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Setelah Indonesia memperoleh kedaulatan secara penuh, para pemimpin Masyumi mulai memanfaatkan situasi dengan menafsirkan asas Partai Masyumi, yang disahkan dalam Muktamar Masyumi ke-6 yang digelar pada bulan Agustus 1952. Sejak tahun 1952 sampai Partai Masyumi dibubarkan pada tahun 1960 asas Partai Masyumi adalah Islam. Selain itu, Masyumi juga mengeluarkan tafsir asas yang merupakan rumusan resmi ideologi partai yang dijadikan sebagai pedoman dan pegangan bagi para anggota Masyumi.

Partai Penerus Masyumi
  • Partai Bulan Bintang
  • Partai Amanat Nasional
  • Partai Keadilan Sejahtera
Way2Themes