Selasa, 26 Desember 2017

Ketentuan Ambang Batas Pencalonan Presiden Inkonstitusional dan Rawan Kolusi


Aturan mengenai ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( UU Pemilu ) mendapat gugatan sejumlah pihak di Mahkamah Konstitusi karena dianggab bertenangan dengan UU 1945. 

Dalam Pasal 222 UU Pemilu menyebutkan , pasangan calon pada Pemilu 2019 oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilihan anggota DPR sebelumnya. Angka kepresidenan tersebut adalah angka politik sesaat dan inkonstitusional.

Dalam hal teknis pencalonan presiden dan wakil presiden, UUD 1945 sudah dipersiapkan secara khusus soal teknis pengusulan calon presiden dan wakil presiden. Pasal 6A ayat 2 UUD 1945, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Ketentuan itu, sangat terang sekali dengan pencalonan hanya bisa melalui parpol atau gabungan parpol. Namun, dalam pasal 222 UU Pemilu terkait dengan pencalonan digabungkan dengan ketentuan persyaratan menjadi presiden. Hal itu terlihat dari frasa “ ... yang memenuhi syarat paling rendah 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilihan anggota DPR sebelumnya”. Penggabungan kedua hal itu terjadi karena pembuat UU Terbawa 6A UUD 1945 yang menyebut syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dalam UU.

UU tidak dapat mengatur hal yang sudah diatur dalam UUD 1945 dengan cara menambah atau meniadakan ketentuan dalam pasal di UUD 1945. Ketentuan pencalonan harus dibedakan dengan syarat-syarat menjadi presiden.

Praktiknya, dalam UU Pemilu pembentuk UU telah mengatur tata cara pencalonan yang berseberangan dengan ketentuan UUD 1945.

Rawan Kolusi
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang rawan memicu terjadinya transaksi politik. Transaksi politik sangat mungkin terjadi lantaran partai-partai diharuskan berkoalisi untuk memenuhi ketentuan syarat pencalonan sebesar 20 persen dari jumlah kursi di parlemen atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu legislatif. Partai yang diajak berkoalisi oleh partai lain yang memiliki sedikit kursi bisa mematok syarat tertentu. Misalnya dengan membayar lebih mahal atau pemberian tertentu apabila bersedia berkoalisi. Itulah yang bisa menimbulkan transaksi.

Berdasarkan hasil Pemilu 2014, tak ada partai yang bisa mencalonkan pasangan presiden-wakil presiden tanpa berkoalisi dengan partai lain. Sebab, tidak ada partai politik yang memperoleh kursi parlemen atau suara sah nasional mencapai batas minimal yang disyaratkan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang merupakan partai paling besar dalam Pemilu 2014, hanya meraih 18,95 persen suara. Adapun Partai Golkar juga hanya mendapat 14,75 persen dan Partai Gerindra 11,81 persen. Transaksi politik rawan terjadi saat penentuan siapa calon yang akan diusung.


Selain sarat transaksi politik, syarat ambang batas 20 persen kursi parlemen dan 25 persen perolehan suara sah nasional juga berpotensi digunakan untuk menjegal lawan politik. Seperti saat ada sejumlah partai yang tidak menyukai calon tertentu, maka, dia mengajak partai lain supaya mengupayakan calon itu tidak memperoleh dukungan yang cukup untuk maju.
Way2Themes