Senin, 01 Oktober 2018


DARI balik lemari yang menjadi sekat ruang tamu, Sitti Muchliesah bersama empat adik dan sepupunya mencuri dengar pembicaraan ayahnya, Mohammad Natsir, dengan seorang tamu dari Medan. Hati remaja-remaja itu berbunga ketika mendengar si tamu hendak menyumbangkan mobil buat ayah mereka.

Lies panggilan Siti menyangka mobil Chevrolet Impala yang sudah terparkir di depan rumahnya di Jalan Jawa 28 (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat, itu akan menjadi milik keluarganya. Sedan besar- buatan Amerika ini tergolong “wah” pada 1956. Saat itu Natsir, yang pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri, hanya punya mobil pribadi bermerek DeSoto yang sudah kusam.

Aba-demikian anak-anaknya memanggil Natsir-ketika itu masih anggota parlemen dan memimpin Fraksi Masyumi. “Dia ingin membantu Aba karena mobil yang ada kurang memadai,” kata putri tertua Natsir yang saat itu baru masuk usia 20 tahun.

Harapan anak-anak naik mobil Impala buyar saat ayah mereka menolak tawaran dengan amat halus agar tidak menyinggung perasaan tamunya. “Mobil itu bukan hak kita. Lagi pula yang ada masih cukup,” Lies menirukan ucapan ayahnya ketika mereka bertanya.

Nasihat itu begitu membekas di hati Lies, kini 72 tahun. Aba dan Ummi Nurnahar-ibunda Lies-selalu berpesan kepada anak-anaknya, “Cukupkan yang ada. Jangan cari yang tiada. Pandai-pandailah mensyukuri nikmat.”

Ketika sang ayah menjadi Menteri Penerangan pada awal 1946, Lies mengenang mereka tinggal seadanya di rumah milik sahabat Natsir, Prawoto Mangkusasmito, di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Sewaktu pusat pemerintah pindah ke Yogyakarta, keluarga Natsir menumpang di paviliun milik Haji Agus Salim di Jalan Gereja Theresia, sekarang Jalan H Agus Salim.

Periode menumpang di rumah orang baru berakhir ketika mereka menempati rumah di Jalan Jawa pada akhir 1946. Rumah tanpa perabotan ini dibeli pemerintah dari seorang saudagar Arab dan kemudian diserahkan untuk Menteri Penerangan. “Kami mengisi rumah itu dengan perabot bekas,” kata Lies.

Selama menjadi menteri, Natsir jarang bertemu dengan keluarga karena lebih banyak berdinas di Yogyakarta. Di sana pula dia pertama berjumpa dengan guru besar dari Universitas Cornell, George McTurnan Kahin. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,” tulis Kahin dalam buku memperingati 70 tahun Mohammad Natsir.

Dia melihat sendiri Natsir mengenakan jas bertambal. Kemejanya hanya dua setel dan sudah butut. Kahin, yang mendapat info dari Haji Agus Salim me-ngenai sosok Natsir, belakangan tahu bahwa staf Kementerian Penerangan mengumpulkan uang membelikan pakaian supaya bos mereka terlihat pantas sebagai seorang menteri.

Penampilan Natsir tidak berubah saat menjadi Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Agustus 1950. Keluarga Natsir menempati rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur (sekarang Tugu Proklamasi), Jakarta Pusat. Rumah di Jalan Jawa yang sempit dan kusam di-nilai tidak layak buat pemimpin pemerintah. Rumah di Jalan Proklamasi itu lengkap dengan perabot-an sehingga Natsir dan keluarganya hanya membawa koper berisi pakaian dari Jalan Jawa.

Pada masa ini kehidupan keluarga Natsir sudah dibatasi protokoler. Rumah dijaga polisi dan sang Perdana Menteri selalu didampingi pengawal. -Pemerintah juga menyediakan pembantu yang membenahi rumah, tukang cuci dan masak, serta tukang kebun. “Semua fasilitas tidak membuat kami manja dan besar kepala,” ujar Lies.

Putri tertua Natsir yang saat itu duduk di kelas II sekolah me-nengah pertama tersebut tetap naik sepeda ke sekolah karena jarak-nya dekat. Adik-adiknya antar-jemput dengan mobil DeSoto yang dibeli dari uang sendiri. Ibunya masih melanjutkan belanja ke pasar dan kadang masak sendiri. Lies mengatakan keluarganya tidak pernah memanfaatkan fasilitas pemerintah, misalnya perjalanan dinas.
Contoh lain kejujuran Natsir selama menjadi pejabat negara didengar pula oleh Amien Rais, bekas Ketua Umum Muhammadiyah. Ketika masih mahasiswa, ia mendengar cerita Khusni Muis yang pernah menjadi Ketua Muhammadiyah Kalimantan Selatan.

Syahdan, Khusni menuturkan, ia pernah datang ke Jakarta untuk urusan partai (saat itu Muhammadiyah merupakan anggota istimewa Masyumi). Ketika hendak pulang ke Banjarmasin, ia mampir ke rumah Natsir. Tujuannya meminjam uang untuk ongkos pulang. Tapi Natsir menjawab tidak punya uang karena belum gajian. Natsir lalu meminjam uang dari kas majalah Hikmah yang ia pimpin. “Bayangkan, Perdana Menteri tidak memegang uang. Kalau sekarang, tidak masuk akal,” ujar Amien.

Tatkala Natsir mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri pada Maret 1951, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyodorkan catatan sisa dana taktis. Sal-donya lumayan banyak. Maria mengatakan dana itu menjadi hak perdana menteri. Tapi Natsir menggeleng. Dana itu akhirnya dilimpahkan ke koperasi karyawan tanpa sepeser pun mampir ke kantong pemiliknya.

Dia juga pernah meninggalkan mobil dinasnya di Istana Presiden. Setelah itu, ia pulang berboncengan sepeda dengan sopirnya. Keluarganya pindah lagi ke rumah di Jalan Jawa setelah Natsir turun dari jabatan perdana menteri. “Kami kembali ke kehidupan semula,” kata Lies.
Pola hidup sederhana itu pula yang membuat anak-anak Natsir mampu bertahan saat suratan takdir mengubah hidup mereka dari kelompok “anak Menteng” menjadi “anak hutan” di Sumatera ketika meletus pemberontakan Pemerintahan Revolusio-ner Republik Indonesia/Perju-angan Rakyat Semesta.

Setelah periode hidup di hutan dan Natsir mendekam dari satu penjara ke penjara yang lain selama 1960-1966, keluarga mereka kehilangan rumah di Jalan Jawa, termasuk mobil DeSoto. Harta itu diambil alih seorang kerabat seorang pejabat pemerintah.

Mereka menjalani “kehidupan nomaden,” terus berpindah kontrakan, dari paviliun di Jalan Surabaya sampai rumah petak di Jalan Juana, di belakang Jalan Blora, Jakarta Pusat. Rumah itu cuma terdiri atas satu kamar tidur, ruang tamu kecil, dan ruang makan merangkap dapur.

Setelah Natsir bebas dari Rumah Tahanan Militer Keagung-an Jakarta pada 1966, ia membeli rumah milik kawannya, Bahartah, di Jalan Jawa 46 (sekarang Jalan H. O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Rumah itu sebetulnya dijual dengan “harga teman”, tapi Natsir tetap tidak mempu-nyai uang. Alhasil, ia harus mengais pinjaman dari sejumlah kawan dan dicicil selama bertahun-tahun.

Teladan kesederhanaan tetap ia tunjukkan saat memimpin Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada masa Orde Baru. Bekas Menteri-Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra, yang ketika itu pernah menjadi anggota staf Natsir, menuturkan betapa bosnya acap ke kantor mengenakan kemeja itu-itu saja. Kalau tidak baju putih yang di bagian kantongnya ada noda bekas tinta, kemeja lain adalah batik berwarna biru.

Saat ulang tahun ke-80, Natsir memberikan wasiat kepada anak-anaknya supaya menjaga rumah keluarga di Jalan Cokro-aminoto 46 dan buku-buku karyanya. Lima tahun kemudian ia menutup mata selamanya. Setahun sepeninggalnya, kelima anaknya, Lies, Asma Faridah, Hasnah Faizah, Aisyahtul Asriah, dan Fauzie Natsir, sepakat menjual rumah peninggalan almarhum: mereka tidak sanggup membayar pajaknya.





Jumat, 23 Februari 2018


Ilustrasi

FOTO itu usang sudah: warnanya pudar dan -ker-tasnya tak lagi mulus.- Namun, hari itu, 3 Februari 1993, mendapatkan foto tersebut, Mohammad Natsir gembira bukan main.

Sambil berbaring, matanya tak lepas foto dengan gambar rumah beratap joglo dengan halaman yang luas itu. Tak jauh dari rumah tersebut terdapat sungai jernih dengan jembatan kayu jati berukir di atasnya.

Saat itu, Mohammad Natsir- tengah terkulai lemah di sebu-ah ruang di Rumah Sakit Cipto Ma-ngunkusumo, Jakarta. Natsir- me-minta Hamdi El Gumanti, kini 60 tahun, salah seorang peng-urus Dewan Dakwah Islamiyah Jakarta, mencarikan foto-foto semasa kecilnya di Alahan Panjang, Sumatera Barat.

Kota sejuk itu sangat istimewa bagi Natsir. Di sanalah, seabad silam dia lahir dan menghabiskan masa kecilnya, sebelum berpindah-pindah tempat tinggal.

Mendapatkan permintaan itu, Hamdi terbang ke Alahan Panjang. "Saya kaget. Sebelumnya Pak Natsir tidak pernah seperti itu," katanya mengenang. Setelah membongkar berbagai album, akhirnya dia menemukan foto yang diinginkan Natsir. Segera dia kembali ke Jakarta. Syukurlah, dia tidak terlambat. Tiga hari setelah melihat-lihat foto itu, Natsir pun berpulang.

Semasa hidupnya, Natsir selalu rindu mengunjungi tempat masa kecilnya. Namun, karena kesibukan, keinginan itu tak pernah kesampaian. Pada 1970-an, dia pernah berencana menengok kampung bersama Syahrul Kamal, salah satu kolega. "Namun Syahrul Kamal keburu meninggal," kata Hamdi, yang juga masih- terhitung kemenakan Syahrul.

Pada 1991, keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat masa kecilnya kembali mencuat. Ketika itu Natsir memang tengah berkunjung ke Padang dan Bukittinggi, untuk meresmikan gedung Islamic Center. Rencananya, selepas acara itu, Natsir mampir ke Alahan Panjang, Solok, dan Maninjau. Tapi rencana tinggal rencana. Mungkin karena terlalu bersemangat, ketika meresmikan Islamic Center, Natsir naik gedung hingga ke lantai empat. Sakit jantungnya kumat. Akhirnya, Natsir hanya sempat ke Solok. "Di sana, Bapak menunjuk beberapa tempat yang sempat diingatnya," kata kata Aisyah Rahim Natsir, anak kelima Natsir. Akhirnya, hanya kertas lusuh itu yang menjadi alat Natsir bernostalgia.

***
ALAHAN Panjang, yang dulu dikenal dengan nama Lembah Gumanti, adalah dataran tinggi yang subur. Kebun kopi, sayur-mayur, dan persawahan terhampar di sana.

Udaranya pun sejuk akibat se-ring disiram hujan karena terletak di kaki Gunung Talang. Danau kembar, yakni Danau Diatas dan Danau. Dibawah, yang terdapat di kota itu membuat pemandangan Alahan Panjang rancak di mata. Di kota ini me-ngalir pula sungai Batang Hiliran Gumanti. Sungai itu tak bisa dipisahkan dengan hidup Natsir. Di sebuah rumah di tepi sungai itulah Mohammad Natsir dilahirkan pada 15 Juli 1908. Muhammad Idris Sutan Saripado, ayah Natsir, yang saat itu juru tulis, tinggal bersama di rumah Sutan Rajo Ameh, saudagar kopi yang kaya-raya.

"Mungkin karena kakek saya bersahabat dengan ayah Pak Natsir sehingga mereka diajak tinggal di rumah itu," kata Hamdi, cucu Sutan Rajo Ameh. Rumah itu besar dan berhalaman luas. Di sisi kirinya mengalir Batang Hiliran Gumanti, yang mengalir dari Danau Diatas. Oleh pemiliknya, keluarga Sutan Rajo Ameh, rumah dibagi dua: ia dan keluarganya tinggal di bagian kiri, sisanya ditempati Muhammad Idrus Saripado, istri dan anaknya. Sayangnya, tidak banyak orang yang mengetahui kehidupan Natsir semasa di sana. Maklum, orang-orang yang satu generasi dengan Natsir sudah tidak ada. Selain itu, Natsir memang tidak lama tinggal di Alahan Panjang: sebelum dia masuk Holland Inlander School (HIS) atau sekolah rakyat, dia pindah ke Maninjau.

Satu-satunya orang yang me-ngenal Natsir kecil adalah Hamdi. Itu pun berdasarkan cerita SitiZahara, neneknya. "Semasa kanak-kanak Natsir orangnya lugu, jujur, dan sudah kelihatan akan jadi pemimpin," kata Hamdi menirukan ucapan Zahara. Selain itu, masih mengutip ucapan Zahara, Natsir juga suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga. "Dia kerap merapikan kamar tidur dan suka membantu mencuci piring."

Seperti umumnya anak lelaki Minang pada masa itu, Natsir kecil juga kerap pergi ke surau, yang takjauh dari rumahnya, untuk mengaji. Surau itu bernama Surau Dagang, didirikan para pedagang dari nagari-nagari di sekitar Alahan Panjang. Dalam buku biografi memperingati ulang tahunnya yang ke-70, dikisahkan ketika kanak-kanak, hampir setiap malam, Natsir memilih tidur di surau berselimut kain sarung.

Masa kecil Natsir dihabiskan di berbagai tempat mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai pegawai kolonial Belanda. Setelah dari Alahan Panjang, Natsir sempat tinggal di Maninjau dan bersekolah hingga kelas dua. Kemudian pindah ke Padang, untuk bersekolah di HIS Adabiyah. Tak lama berselang, dia pindah ke Solok. Dan ketika sang ayah pindah ke Makassar, Natsir kembali ke Padang tinggal bersama kakaknya. Di sana dia menamatkan pendidikan dasarnya sebelum akhirnya melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onder-wijs (MULO) di Bandung.

Kini, Alahan Panjang tidak banyak berubah. Lembah Gumanti masih berhawa sejuk. Ladangsayurandan kebun kopi masih terhampar luas. Namun tempat kelahiran Natsir agak berubah. Dihajar bom Belanda dalam agresi militer, rumah dibangun kembali pada 1957. Kini rumah yang dihuni seorang kerabat itu lebih kecil dari ukuran sebelumnya.

Di samping kiri rumah masih mengalir Batang Hiliran Gumanti dengan airnya yang jernih. Jembatan masih ada namun sudah diganti beton. Meski demikian, nama jalan di depan rumah itu tetap Jembatan Berukir. Nama Natsir juga diabadikan sebagai nama salah satu pesantren selain juga nama perpustakaan yang menyimpan buku-buku karyanya.

Dikuip dari Serial Buku Tempo - Natsir Politik Santun Diantara Dua Rezim

Kamis, 22 Februari 2018

DIA, Mohammad Natsir (17 Juli 1908-6 Februari 1993), orang yang puritan. Tapi kadang kala orang yang lurus bukan tak menarik. Hidupnya tak berwarna-warni seperti cerita tonil, tapi keteladanan orang yang sanggup menyatukan kata-kata dan perbuatan ini punya daya tarik sendiri. Karena Indonesia sekarang seakan-akan hidup di sebuah lingkaran setan yang tak terputus: regenerasi kepemimpinan terjadi, tapi birokrasi dan politik yang bersih, kesejahteraan sosial yang lebih baik, terlalu jauh dari jangkauan. Natsir seolah-olah wakil sosok yang berada di luar lingkaran itu. Ia bersih, tajam, konsisten dengan sikap yang diambil, bersahaja.
Mungkin karena itulah sampai tahun ini-seratus tahun setelah kelahirannya, 15 tahun setelah ia mangkat-tidak sedikit orang menyimpan keyakinan bahwa Mohammad Natsir merupakan sebagian dunia kontemporer kita. Masing-masing memaklumkan keakraban dirinya dengan tokoh ini. Di kalangan Islam garis keras, misalnya, banyak yang berusaha melupakan kedekatan pikirannya dengan demokrasi Barat, seraya menunjukkan betapa gerahnya Natsir menyaksikan agresivitas misionaris Kristen di tanah air ini. Dan di kalangan Islam moderat, dengan politik lupa-ingat yang sama, tidak sedikit yang melupakan periode ketika bekas perdana menteri dari Partai Masyumi ini memimpin Dewan Dakwah Islamiyah; seraya mengenang masa tatkala perbedaan pendapat tak mampu memecah-belah bangsa ini. Pluralisme, waktu itu, sesuatu yang biasa.
Memang Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
Perbedaan pendapat pula yang mempertemukan Bung Karno dan Mohammad Natsir, dan mengantar ke pertemuan-pertemuan lain yang lebih berarti. Waktu itu, pengujung 1930-an, Soekarno yang menjagokan nasionalisme-sekularisme dan Natsir yang mendukung Islam sebagai bentuk dasar negara terlibat dalam polemik yang panjang di majalah Pembela Islam. Satu polemik yang tampaknya tak berakhir dengan kesepakatan, melainkan saling mengagumi lawannya.
Lebih dari satu dasawarsa berselang, keduanya "bertemu" lagi dalam keadaan yang sama sekali berbeda. Natsir menjabat menteri penerangan dan Soekarno presiden dari negeri yang tengah dilanda pertikaian partai politik. Puncak kedekatan Soekarno-Natsir terjadi ketika Natsir sebagai Ketua Fraksi Masyumi menyodorkan jalan keluar buat negeri yang terbelah-belah oleh model federasi. Langkah yang kemudian populer dengan sebutan Mosi Integral, kembali ke bentuk negara kesatuan, itu berguna untuk menghadang politik pecah-belah Belanda.
Mohammad Natsir, sosok artikulatif yang selalu memelihara kehalusan tutur katanya dalam berpolitik, kita tahu, akhirnya tak bisa menghindar dari konflik keras dan berujung pada pembuktian tegas antara si pemenang dan si pecundang. Natsir bergabung dengan PRRI/Perjuang-an Rakyat Semesta, terkait dengan kekecewaannya terhadap Bung Karno yang terlalu memihak PKI dan kecenderungan kepemimpinan nasional yang semakin otoriter. Ia ditangkap, dijebloskan ke penjara bersama beberapa tokoh lain tanpa pengadilan.
Dunianya seakan-akan berubah total ketika Soekarno, yang memerintah enam tahun dengan demokrasi terpimpinnya yang gegap-gempita, akhirnya digantikan Soeharto. Para pencinta demokrasi memang terpikat, menggantungkan banyak harapan kepada perwira tinggi pendiam itu. Soeharto membebaskan tahanan politik, termasuk Natsir dan kawan-kawannya. Tapi tidak cukup lama Soeharto memikat para pendukung awalnya. Pada 1980 ia memperlihatkan watak aslinya, seorang pemimpin yang cenderung otoriter.
Dan Natsir yang konsisten itu tidak berubah, seperti di masa Soekarno dulu. Ia kembali menentang gelagat buruk Istana dan menandatangani Petisi 50 yang kemudian memberinya stempel "musuh utama" pemerintah Soeharto. Para tokohnya menjalani hidup yang sulit. Bisnis keluarga mereka pun kocar-kacir karena tak bisa mendapatkan kredit bank. Bahkan beredar kabar Soeharto ingin mengirim mereka ke Pulau Buru-pulau di Maluku yang menjadi gulag tahanan politik pengikut PKI. Soeharto tak memenjarakan Natsir, tapi dunianya dibuat sempit. Para penanda tangan Petisi 50 dicekal.
Mohammad Natsir meninggalkan kita pada 1993. Dalam hidupnya yang cukup panjang, di balik kelemah-lembutannya, ada kegigihan seorang yang mempertahankan sikap. Ada keteladanan yang sampai sekarang membuat kita sadar bahwa bertahan dengan sikap yang bersih, konsisten, dan ber-sahaja itu bukan mustahil meskipun penuh tantang-an. Hari-hari belakangan ini kita merasa teladan hidup seperti itu begitu jauh, bahkan sangat jauh.

Rabu, 14 Februari 2018


Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak prihatin kasus Siyono Jilid 2 terulang lagi. Menurutnya, Polisi harus terbuka kepada publik terkait kematian Muhammad Jefri (MJ), terduga teroris yang ditangkap Densus 88, kemudian setelah satu hari dikembalikan dalam kondisi meninggalkan dunia.

“Terlepas dari apakah Muhammad Jeffri terlibat dalam jaringan Terorisme atau tidak, Saya menganggap Densus 88 harus terbuka terkait dengan kematian Muhammad Jefri”, tegas Dahnil dilansir Sangpencerah.id, Rabu (14/2/2018).

Dahnil menuturkan, jangan sampai polisi mengabaikan penegakan hukum yang beradab dan mengulangi preseden buruk kematian Siyono di Klaten yang Pemuda Muhammadiyah tangani 1,5 Tahun yang lalu. Menurutnya, peristiwa seperti ini bukan justru mengubur terorisme namun justru mereproduksi terorisme baru.

Dahnil mengaku menemukan sinyal banyak kejanggalan terkait dengan kematian MJ. "Oleh sebab itu agar sinyal kejanggal-kejanggalan tersebut tidak menjadi fitnah dan tuduhan terhadap Kepolisian, penting agaknya, Densus 88, perlu menjelaskan secara terbuka hasil autopsi terhadap MJ, dan penting dilakukan autopsi yang lebih independent terkait sebab kematian MJ”, jelasnya.

Menurutnya, autopsi ini untuk membuktikan apakah benar yang bersangkutan meninggal karena komplikasi penyakit seperti keterangan polisi, atau karena faktor yang lain. "Dan densus 88 juga harus bisa menjawab, kenapa keluarga dilarang membuka kafan jenazah MJ pada saat diserahkan kepada keluarga," ungkapnya.

Dahnil berharap Densus 88 dan Kepolisian terbuka, dan bila memang ada kesalahan dan maka harus ada hukuman pidana yang jelas. "Tidak seperti kasus Siyono yang sampai detik ini tidak jelas penuntasan hukumnya, meskipun autopsi terang sudah membuktikan Siyono meninggal karena penganiayaan bukan karena yang lain," katanya.

Dahnil juga menyarankan keluarga berusaha mencari keadilan secara aktif dan tidak perlu takut. "Silahkan bawa kasus kematian MJ ke Komnas HAM agar bisa ditangani oleh institusi negara tersebut, untuk dibuktikan penyebab kematian MJ. Ini penting, dan polisi tidak boleh tertutup terkait dengan hal ini”, tandas Danhil.

Minggu, 11 Februari 2018

SLEMAN: Kemarin sore, Minggu (11/2), DPC Sleman mengadakan ta'aruf BACALEG PBB Untuk calon Anggota DPR RI dari wilayah DIY.
Acara yang diinisiasi oleh DPC PBB Sleman tersebut diadakan di Rumah makan Parangtris, Jl. Parangtritis Yogyakarta dan diikuti oleh DPW PBB DIY, DPC Bantul, DPC Gunungkidul, DPC Kota Yogyakarta, dan DPC Sleman selaku penyelenggara. 


Perlu diketahui bahwa beberapa hari yang lalu Nardiyono Wibowo menghubungi KH Drs Busro Alkarim sekaku ketua DPC PBB Kab Sleman dan Drs HM. Nadjib selaku ketua KAPPUCAB Sleman dengan maksud untuk mengajukan permohonan menjadi caleg RI daerah pemilihan Yogyakarta. 


Menindak lanjuti permohonan tersebut, DPC PBB Sleman mengundang semua fungsionaris DPW PBB Daerah Istimewa Yogyakarta dan semua DPC PBB se DIY. Nardiyono Wibowo SH.MHum, yang mantan KA Kanwil Dep.Huk.Ham itu menguraikan panjang lebar apa maksud dan tujuan mengajukan diri menjadi caleg DPR RI Dapil DIY. 


Mantan aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) tersebut mendapat aplaus dan dukungan semua DPC dan DPW yang hadir. Bahkan mendorong untuk tanpa ragu-ragu maju dengan semangat dan penuh optimisme. 


BRAY Sitoresmi Prabuningrat selaku ketua DPW PBB DIY mengapresiasi semangat dan tekad Nardiyono Wibowo yang siap maju melalui Dapil DIY tersebut. Beliau berharap dengan majunya Nardiyono Wibowo bisa menggerakkan hati kader-kader lainnya untuk tanpa ragu-ragu membesarkan Partai dengan memberikan sumbang sihnya melalui kesediaan menjadi caleg, baik caleg RI, Propinsi, maupun Kabupaten/kota.


Ditempat yang sama ketua Majlis Pertimbangan Partai Drs H. Daru Lalito Wistoro berharap bacaleg dari DIY yang akan diajukan ke DPP bisa disetujui. Sebab merekalah yang tahu secara riel keadaan situasi dan kondisi didaerah. Acara diakhiri sholat maghrib berjama'ah dan makan bersama. (Red)
PKPI dinyatakan tidak memenuhi syarat untuk tampil sebagai peserta pemilu 2019.
Hal itu disampaikan Komisioner KPU Jabar, Agus Rustandi pada rapat pleno terbuka rekapitulasi hasil verifikasi faktual di tingkat KPUD Kabupaten/Kota.
"Semua parpol telah diverifikasi terkait kepengurusan, keterwakilan perempuan, domisili kantor dan keanggotaan. 15 Partai memenuhi syarat," katanya di KPU Provinsi Jawa Barat Jl. Garut No. 11 Bandung Minggu (11/2).
Dari 16 Parpol yang di verifikasi fakual hanya PKPI yang dinyatakan tidak memenuhi syarat minimal 75 persen data kepengurusan dan keanggotaan di 20 kabupaten/kota di Jawab Barat. PKPI hanya memenuhi syarat keanggotaannya di 10 kabupaten/kota, sementara 10 daerah lainnya tidak memenuhi syarat.
Ketua KPU Jabar, Yayat Hidayat menegaskan kewenangan KPU Jabar hanya sekadar memberi predikat memenuhi syarat, karena keputusan finalnya ada di KPU RI.
"Yang menentukan partai bisa ikut atau tidak (tampil di pemilu 2019) KPU pusat," terangnya. Ia mengimbau, jika ada pihak yang keberatan dengan hasil dari KPU Jabar, Yayat mengaku akan terbuka dan mengundang pengurus partai di tingkat Kota Kabupaten untuk mendatangi KPU.
"Kami terbuka untuk klarifikasi, tapi setiap keberatan harus didasarkan fakta," ujar Yayat.
Berikut 15 partai lolos verifikasi:

Partai Persatuan Indonesia
Partai Solidaritas Indonesia
Partai Nasdem
PKS
PKB
Partai Gerindra
PPP
PDIP
Partai Demokrat
Partai Golkar
Partai Bulan Bintang
Partai Hanura
PAN
Partai Berkarya
Partai Garuda

Jumat, 09 Februari 2018

Bojonegoro :Partai Bulan Bintang (PBB) Kabupaten Bojonegoro menjadi partai politik terakhir yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah memenuhi syarat dalam verifikasi faktual perpanjangan kemarin.

"PBB memenuhi syarat, setelah di verifikasi (waktu perbaikan tanggal 3 sampai 5 Februari)," kata ketua KPU Kabupaten Bojonegoro, Abdim Munib. Dalam verifikasi faktual tersebut, selain keanggotaan parpol juga kantor partai tersebut dikroscek. Seperti Parpol PBB meskipun tidak memiliki kantor di dalam kota, tetapi ada di wilayah Kecamatan Balen, dan itu tidak dipermasalahkan.

"Peraturan KPU membolehkan kantor partai ada di Ibukota kabupaten, tidak di ibukota kabupaten/kota. Kalau kantornya di kecamatan, boleh," jelasnya kepada blokBojonegoro.com.

Seperti diketahui, Parpol yang dinyatakan lolos verifikasi sebelumnya diantaranya Perindo, Nasdem, Gerindra, Demokrat, Garuda, PKS, PPP, PKPI, Hanura, PSI, PKB, PDIP, Golkar, PAN dan Berkarya, serta yang terakhir PBB. [zid/mu]
Way2Themes