Selasa, 12 September 2017

Sulitnya Menuju Pusat Konflik Rohingya, Salah Langkah Bisa Dipenjara



Para pengungsi dari konflik Rohingya yang terjadi di distrik Maungdaw di Biara Meditasi, Sittwe

PEMERINTAH Myanmar, tampaknya, menyembunyikan sesuatu atas konflik yang terjadi di Distrik Maungdaw, Negara Bagian Rakhine. Daerah dengan luas 3,538 kilometer persegi yang menjadi pusat konflik itu tertutup bagi orang asing dan terbatas untuk warga lokal. Kalau mereka nekat melintas secara ilegal, hukumannya bukan disuruh putar balik, tetapi penjara!

Jarak Maungdaw dari Sittwe, ibu kota Rakhine, sebenarnya hanya 100 km. Kurang lebih seperti jarak Surabaya ke Malang atau lebih dekat dari Jakarta ke Bandung. Untuk menuju ke tempat itu, Jawa Posharus menyeberang sungai terlebih dahulu dengan menggunakan kapal dan dilanjut perjalanan darat.

Namun, untuk menyeberang dengan waktu sekitar tiga jam itu, harus ada izin. Apalagi jika melewati jalur darat. Ketika memasuki Buthidaung, Jawa Pos sudah dimintai bukti izin tertulis. "Larangan sudah ditulis di imigrasi bandara," ujar penerjemah Myo Thant Tun mengingatkan.

Memang, ketika baru pertama mendarat di Sittwe, di meja imigrasi sudah tertulis area mana saja yang boleh dilalui tanpa izin khusus. Di antara 17 township yang berada di Arakan (nama lama Rakhine), 16 boleh disinggahi dengan bebas. Namun, ada satu wilayah yang dilarang: Maungdaw.
Para pengungsi dari konflik Rohingya yang terjadi di distrik Maungdaw di Biara Meditasi, Sittwe

Jika sudah telanjur berada di Sittwe dan belum mengantongi izin, sebenarnya izin bisa diajukan di situ. Namun, dibutuhkan waktu sampai dua hari paling cepat. Itu juga belum tentu permohonan izin masuk Maungdaw dikabulkan.


Apalagi, konflik belum selesai dan ARSA memiliki senjata untuk melukai," imbuh Myo. ARSA adalah Arakan Rohingya Salvation Army. Oleh pemerintah Myanmar, kelompok itu disebut sebagai teroris karena sudah berikrar ingin mendirikan negara Islam dan berafiliasi dengan ISIS.

Terbaru, ARSA sudah mengirim pesan perang kepada pemerintah Myanmar dengan mengancam meledakkan bom di beberapa kota utama. Misalnya, Yangon, ibu kota Nay Pyi Taw, Mandalay, dan Mawlamyaing. ARSA saat ini selain memiliki senjata api dan senjata tajam, juga punya bom.

Saat mencari informasi ke beberapa orang, termasuk guide yang sudah terbiasa menjalin komunikasi dengan organisasi non pemerintah untuk memasuki kawasan Maungdaw, Jawa Pos diberi opsi. Salah satunya menggunakan perahu. "Wajah Anda mirip orang Myanmar, saya rasa kita bisa masuk Maungdaw," terang lelaki gemuk yang tak mau disebutkan namanya itu.

Sekali jalan, dibutuhkan waktu empat jam. Namun, untuk mencari perahu lainnya, tidak bisa cepat. Perlu menunggu keesokan harinya. Artinya, harus menginap semalam di daerah konflik yang sudah menghilangkan banyak nyawa itu. "Dengan catatan tidak diperiksa petugas di tengah jalan. Lewat perahu, berarti ilegal, dan bisa langsung dipenjara," katanya.

Opsi lain yang lebih cepat adalah menyewa speedboat secara pribadi. Namun, memasuki daerah konflik membuat pemilik perahu memasang tarif tinggi. Yakni, sekitar Rp 5 juta. Soal garansi keamanan? Tidak ada. Jika tertangkap, ya siap-siap menginap di hotel prodeo.

Akses menuju pelabuhan juga tidak terlalu baik. Justru melewati pos pengamanan militer yang tidak terlalu ketat. Selama bersama warga lokal dan memiliki wajah Asia Tenggara, pengunjung bisa langsung lewat begitu saja. Setelah itu, melalui jalanan beraspal yang rusak dengan ditemani pemandangan sawah dan tambak.

Tetapi, di kiri dan kanan, dalam radius beberapa kilometer ada beberapa kamp militer. Entah berupa barak, perbekalan, ataupun kompleks permukiman. Meski aktivitas cenderung tidak terlihat, kompleks militer itu seperti memberikan jaminan jika konflik meluas sampai Sitwee, mereka siap mengamankan.


Sampai saat ini, militer Myanmar belum mengurangi kekuatannya di Maungdaw. Termasuk di Buthidaung yang menjadi kota besar di Maungdaw. Arif, salah seorang muslim Rohingya yang ditemui Jawa Pos di Yangon, sempat mengatakan bahwa keluarganya ada di Buthidaung. "Kabar terakhir, ada sekitar 2 ribu orang yang masih bersembunyi di hutan," te­rangnya. Sejak konflik meletus pada 25 Agustus, Arif mengaku tidak tahu nasib keluarganya.


Keamanan untuk menuju titik tengah konflik makin tidak menentu karena militer Myanmar memasang banyak ranjau darat. Terutama di kawasan yang berada di sekitar perbatasan Bangladesh. Itu dibenarkan Amnesty International yang mengungkapkan adanya pelanggaran HAM berat oleh militer.


Amnesty International menyampaikan, hasil perkembangan sementara dari investigasi lapangan menunjukkan, ranjau darat antipersonal itu dipasang untuk mencegah kembalinya pengungsi Rohingya ke Negara Bagian Rakhine. Padahal, pengguna­an jenis ranjau tersebut telah dilarang secara internasional.

Amnesty International menemukan tiga orang -dua di antaranya anak-anak- terluka parah dan seorang meninggal akibat ranjau tersebut. Tim Respons Krisis Amnesty International yang dipimpin Tirana Hassan berada di perbatasan Myanmar dan Bangladesh untuk mengumpulkan bukti-bukti terkait. "Ranjau ini memperparah keadaan di Rakhine. Membahayakan nyawa pengungsi yang melintas," ujar Tirana.

Militer Myanmar memang sempat membantah dan menuding kelompok teroris sebagai pelaku penanaman ranjau itu. Namun, Dhaka telah mengirim nota protes resmi ke Yangon atas penanaman ranjau tersebut.

Sementara itu, pengungsi Rohingya yang terus mengalir ke Bangladesh membuat PBB kewalahan. Juru Bicara Badan Pengungsi PBB (UNHCR) Vivian Tan mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) untuk mengurus semua pengungsi yang baru datang. Selama dua pekan ini, sudah ada 290 ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh. Mayoritas tinggal di area perbatasan yang sebelumnya tak berpenghuni.

Bukan hanya UNHCR yang merasa tak mampu mengurus semua pengungsi, lembaga-lembaga kemanusiaan yang terjun ke lokasi merasakan hal serupa. Setiap hari ribuan orang terus berdatangan dalam kondisi yang mengenaskan dan kelaparan. Beberapa lembaga PBB dan organisasi non pemerintah (NGO) mengunjungi lokasi-lokasi pengungsian seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.


"Sebagian besar pengungsi yang baru datang terus memberi tahu kami bahwa rumah ataupun desa mereka dibakar," ujar Vivian Tan saat diwawancarai secara khusus oleh Al Jazeera akhir pekan ini.


Mereka harus berjalan 3-9 hari sebelum tiba di Bangladesh. Itu pun belum tentu dalam kondisi hidup. PBB memperkirakan konflik terbaru di Rakhine, Myanmar, itu telah merenggut sedikitnya seribu nyawa. Beberapa pengungsi harus melahirkan dalam pelarian. Salah satunya adalah pengungsi di kamp Nayapara, Teknaf, Bangladesh. Seorang pengungsi melahirkan bayi kembar saat melarikan diri dari Rakhine. Setiap hari selalu ada kisah menyedihkan yang menyayat hati.


Tak semua anak-anak yang mengungsi ditemani orang tuanya. Banyak di antaranya yang benar-benar sendirian.


(i
Way2Themes