Selasa, 12 September 2017

Mengunjungi Pengungsi Muslim Rohingya Tak Semudah ke Kamp Buddha-Hindu


Ilustrasi: Aktivitas anak-anak Rohingya yang mengaji di sore hari. Foto ini diambil dari desa Muslim yang ada di Sittwe


MENGUNJUNGI pengungsi Rohingya di Sittwe tidak semudah memasuki kamp pemeluk Buddha maupun Hindu. Ganjalan utama berupa izin khusus untuk masuk. Sebab, pemerintah Myanmar melarang jurnalis masuk ke kamp pengungsi Rohingya. Hanya organisasi non pemerintah yang diperbolehkan. Itu pun dengan syarat ketat.


Kamp pengungsi Rohingya sebenarnya tidak jauh dari jantung Kota Sittwe. Sekitar 15 menit menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai di daerah yang dilafalkan menjadi Hla Ma Se itu.

Tapi, begitu memasuki area penampungan itulah, problem menghadang. Petugas di pos penjagaan langsung menanyakan izin khusus dari pemerintah Myanmar.

Izin yang dikeluarkan juga tidak bisa digunakan untuk sembarang orang. Maksudnya, harus sesuai dengan yang didaftarkan.

Kemungkinan untuk menerabas tanpa lewat pos penjagaan juga sangat sulit. Sebab, semua sudut dijaga dengan ketat. "Tanpa izin, mustahil bisa masuk," ujar seorang teman dari lembaga kemanusiaan Indonesia yang tidak mau disebutkan namanya.

Sejumlah sumber di kalangan pegiat kemanusiaan menyebutkan, bahkan ketika sudah mengantongi izin pun, mereka tetap tak leluasa. Sangat diawasi dan dibatasi. Otomatis diharamkan pula menyampaikan informasi yang dianggap merugikan pemerintah.

"Kami juga harus hati-hati karena diawasi," tutur si teman tadi.

Penjagaan terhadap kamp muslim ketat karena pemerintah Myanmar tidak ingin mereka menjalin hubungan dengan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Apalagi, menurut pemerintah Myanmar, kelompok ekstrem tersebut sudah berbaiat ke ISIS dan sempat mengancam akan melakukan aksi teror di beberapa kota, termasuk Yangon.

Namun, ketatnya penjagaan itu justru menambah panjang daftar hitam persekusi yang dilakukan pemerintah Myanmar. Dalam laporan Burma Human Right Networks (BHRN), muslim kerap dianaktirikan oleh pemerintah.

"Sebanyak 120 ribu orang Rohingya tetap ada di kamp (di Sittwee), sementara yang di luar kondisinya semakin parah," ujar Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win kepada Jawa Pos.

Dia lantas memberikan sebuah laporan yang berisi berbagai persoalan muslim di Myanmar. Misalnya, sulitnya muslim men­dapat kartu identitas, termasuk national registration cards (NRCs).

Di satu sisi, pemerintah Myanmar seolah-olah membuka pintu bagi kalangan muslim untuk mendapatkan kartu identitas. Tapi, di sisi lain, syarat-syarat yang dikenakan terlalu berat untuk dipenuhi.

Pemerintah juga mempersulit muslim yang ingin memperbaiki atau membangun ulang masjid maupun madrasah yang sudah rusak. "Itu termasuk dalam strategi untuk menolak eksistensi muslim," imbuhnya.

Kondisi itu diperburuk dengan ditolaknya perayaan hari penting umat Islam di kalender. Semua itu akhirnya turut menyuburkan resistansi kepada muslim. Buntutnya, di beberapa kawasan, muncul sentimen untuk menciptakan daerah bebas muslim. Catatan BHRN, ada desa yang sampai memasang peringatan agar muslim tidak masuk wilayah itu.



Way2Themes